1. Pengertian Gangguan Emosi dan Perilaku
Beberapa pengungkapan
gangguan emosi dan gangguan perilaku yang diungkapkan di atas secara terpisah
sebenarnya dipandang dari sisi abnormal, sementara itu di sisi lain gangguan
emosional dan perilaku sendiri di definisikan dalam satu kesatuan disebutkan
dengan istilah Emotional dan And Behavioral Disorder ataupun di Indonesia
dikenal dengan istilah Tunaraksa.
Emotional And Behavioral
Disorders (EBD) atau Gangguan
Emosional Perilaku mengacu pada suatu kondisi di mana tanggapan perilaku atau
emosional seorang individu di sekolah sangat berbeda dari norma-norma anak lain
yang umumnya diterima, sesuai dengan usia, etnis, atau budaya yang mempengaruhi
secara berbeda kinerja pendidikan di wilayah seperti perawatan-diri, hubungan
sosial, penyesuaian pribadi, kemajuan akademis, perilaku di ruang kelas atau
penyesuaian terhadap pekerjaan ...EBD lebih dari respon yang diharapkan dan
bersifat sementara terhadap tekanan pada lingkup anak-anak atau remaja dan akan
bertahan bahkan dengan intervensi individual, seperti umpan balik kepada
individu, konsultasi dengan orang tua atau keluarga, dan / atau modifikasi pada
lingkungan pendidikan ... Keputusan kelayakan harus didasarkan pada beberapa
sumber data tentang berfungsinya perilaku individu atau emosional. EBD harus
dilampirkan dalam setidaknya dua pengaturan yang berbeda, setidaknya salah satu
yang harus terkait dengan sekolah ...EBD dapat hidup berdampingan dengan
kondisi handicapp lain sebagaimana didefinisikan di tempat lain dalam
undang-undang ini (IDEA) ... kategori ini bisa termasuk anak-anak atau remaja
dengan schizophenia, gangguan afektif, atau dengan gangguan tingkah laku,
perhatian atau penyesuaian yang berkelanjutan. (Council for Exceptional
Children, 1991, hlm.10).
Gangguan emosi dan perilaku (ditjenPLB.com,
2006) juga diartikan sebagai anak yang mengalami kesulitan dalam penyesuaian
diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam
lingkungan kelompok usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga merugikan
dirinya maupun orang lain, dan karenanya memerlukan pelayanan pendidikan khusus
demi kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya
Hallahan dan Kauffman (2006) dapat dimulai
dari tiga ciri khas kondisi emosi dan perilaku, antara lain yaitu :
1. Tingkah laku yang sangat ekstrim dan bukan hanya berbeda dengan tingkah
laku anak lainnya.
2. Suatu problem emosi dan tingkah perilaku yang kronis, yang tidak muncul
secara langsung,
3. Tingkah laku yang tidak diharapkan oleh lingkungan karena bertentangan
dengan harapan sosial dan cultural.
Heward & Orlansky (1988) dalam Sunardi
(1996) mengatakan seseorang dikatakan mengalami gangguan perilaku apabila
memiliki satu atau lebih dari lima karakteristik berikut dalam kurun waktu yang
lama, yaitu:
1. ketidakmampuan untuk belajar yang bukan disebabkan oleh faktor
intelektualitas, alat indra maupun kesehatan.
2. ketidakmampuan untuk membangun atau memelihara kepuasan dalam menjalin
hubungan dengan teman sebaya dan pendidik.
3. tipe perilaku yang tidak sesuai atau perasaan yang di bawah keadaan normal.
4. mudah terbawa suasana hati (emosi labil), ketidakbahagiaan, atau depresi.
5. kecenderungan untuk mengembangkan simtom-simtom fisik atau ketakutan-ketakutan
yang diasosiasikan dengan permasalahanpermasalahan pribadi atau sekolah.
Simptom gangguan emosi dan perilaku biasanya dibagi menjadi dua macam,
yaitu externalizing behavior dan internalizing behavior.
Externalizingbehavior memiliki dampak langsung atau tidak langsung terhadap
orang lain, contohnya perilaku agresif, membangkang, tidak patuh, berbohong,
mencuri, dan kurangnya kendali diri. Internalizing behavior mempengaruhi
siswa dengan berbagai macam gangguan seperti kecemasan, depresi, menarik diri dari
interaksi sosial, gangguan makan, dan kecenderungan untuk bunuh diri. Kedua
tipe tersebut memiliki pengaruh yang sama buruknya terhadap kegagalan dalam
belajar di sekolah (Hallahan & Kauffman, 1988; Eggen & Kauchak, 1997).
Lebih lanjut, Hallahan & Kauffman (1988) menjelaskan tentang
karakteristik anak dengan gangguan perilaku dan emosi, sebagai berikut:
a. Inteligensi dan Prestasi Belajar
Beberapa ahli, seperti dikutip oleh Hallahan dan Kauffman, 1988. menemukan
bahwa anak-anak dengan gangguan ini memiliki inteligensi di bawah normal
(sekitar 90) dan beberapa di atas bright normal.
b. Karakteristik Sosial dan Emosi. Agresif, acting-out behavior
(externalizing).
Conduct disorder (gangguan perilaku) merupakan permasalahan
yang paling sering ditunjukkan oleh anak dengan gangguan emosi atau perilaku.
Perilaku-perilaku tersebut seperti: memukul, berkelahi, mengejek, berteriak,
menolak untuk menuruti permintaan orang lain, menangis, merusak, vandalisme,
memeras, yang apabila terjadi dengan frekuensi tinggi maka anak dapat dikatakan
mengalami gangguan. Anak normal lain mungkin juga melakukan perilakuperilaku
tersebut tetapi tidak secara impulsif dan sesering anak dengan conduct
disorder.
c. Immature, withdrawl behavior (internalizing)
Anak dengan gangguan ini, menunjukkan perilaku immature
(tidak matang atau kekanak-kanakan) dan menarik diri. Mereka mengalami
keterasingan sosial, hanya mempunyai beberapa orang teman, jarang bermain
dengan anak seusianya, dan kurang memiliki ketrampilan sosial yang dibutuhkan
untuk bersenang-senang. Beberapa di antara mereka mengasingkan diri untuk
berkhayal atau melamun, merasakan ketakutan yang melampaui keadaan sebenarnya, mengeluhkan
rasa sakit yang sedikit dan membiarkan “penyakit” mereka terlibat dalam
aktivitas normal. Ada diantara mereka mengalami regresi yaitu kembali pada
tahap-tahap awal perkembangan dan selalu meminta bantuan dan perhatian, dan
beberapa diantara mereka menjadi tertekan (depresi) tanpa alasan yang jelas (Hallahan
dan Kauffman, 1988).
2. Penyebab Gangguan Tunalaras
1. Kondisi/Keadaan Fisik
Kondisi fisik ini dapat berupa kelainan atau
kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam
memenuhi kebutuhanya baik berupa kebutuhan fisik-biologis maupun kebutuhan
psikisnya. Kondisi ini kadang menimbulkan perasaan inferioritas dan menyebabkan
ketidakstabilan emosi anak yang pada akhirnya berujung pada gangguan perilaku.
2. Masalah Perkembangan
Erikson (dalm Singgih D. Gunarsa,1985:107)
menjelaskan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan
berbagai tantangan satu krisis emosi. Apabila ego dapat mengatasi krisis ini,
individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan social atau masyarakat.
Sebaliknya apabila individu tidak dapat menyelesaikan masalh tersebut maka akan
menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini terjadi pada
masa kanak-kanak dan masa pubertas.
3. Lingkungan Keluarga
Keluarga memiliki pengaruh yang demikian
penting dalam membentuk kepribadian anak. Keluargalah peletak dasar perasaan
aman pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai
peasaan dan sikap social.
Aspek-aspek yang berkaitan dengan masalah
gangguan emosi dan tingkah laku, yaitu:
•
Kasih sayang dan perhatian
•
Kehormonisan keluarga
•
Kondisi ekonomi
4. Lingkungan
Sekolah
Timbulnya gangguan tingkah laku yang
disebabkan lingkungan sekolah berasal dari guru dan fasilitas pendidikan. Perilaku
guru yang otoriter mengakibatkan anak menjadi tertekan dan takut menghadapi
pelajaran, sehingga anak lebih memilih membolos dan berkeluyuran. Fasilitas
pendidikan juga mempengaruhi gangguan tingkah laku. Sekolah yang tidak
mempunyai fasilitas untuk anak menyalurkan bakat dan mengisi waktu luang
mengakibatka anak menyalurkan aktivitas pada hal-hal yang kurang baik.
5. Lingkungan
Masyarakat
Di dalam lingkugan masyarakat terdapat banyak
sumber yang merupakan pengaruh negative yang dapat memicu timbulnya perilaku
menyimpang. Sikap masyarakat masyarakat yang negative ditambah banyaknya
hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber
terjadinya kelainan tngkah laku. Masuknya pengaruh kebudayaan asing yang kurang
sesuai dengan tradisi yang dianut masyarakat yang diterima oleh kalangan remaja
dapat menimbulkan konflik yang siftny negative.
3. Pendidikan pada anak Tunalaras.
Di dalam pelaksanaannya beberapa bentuk penyelenggaraan
pendidikan anak tunalaras antara lain adalah sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan bimbingan dan penyuluhan di sekolah reguler. Jika diantara murid di sekolah tersebut ada
anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan segera para pembimbing memperbaiki
mereka. Mereka masih tinggal bersama-sama kawannya di kelas, hanya mereka
mendapat perhatian dan layanan khusus.
b. Kelas khusus apabila anak tunalaras perlu belajar terpisah dari teman pada
satu kelas. Kemudian gejala-gejala kelainan baik emosinya maupun kelainan tingkah
lakunya dipelajari. Diagnosa itu diperlukan sebagai dasar penyembuhan. Kelas
khusus itu ada pada tiap sekolah dan masih merupakan bagian dari sekolah yang
bersangkutan. Kelas khusus itu dipegang oleh seorang pendidik yang berlatar belakang
PLB dan atau Bimbingan dan Penyuluhan atau oleh seorang guru yang cakap
membimbing anak.
c. Sekolah Luar Biasa bagian Tunalaras tanpa asrama Bagi Anak Tunalaras yang perlu dipisah
belajarnya dengan kata kawan yang lain karena kenakalannya cukup berat atau
merugikan kawan sebayanya.
d. Sekolah dengan asrama. Bagi mereka yang kenakalannya berat, sehingga harus
terpisah dengan kawan maupun dengan orangtuanya, maka mereka dikirim ke asrama.
Hal ini juga dimaksudkan agar anak secara kontinyu dapat terus dibimbing dan
dibina. Adanya asrama adalah untuk keperluan penyuluhan.
Beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa
pendidikan yang tepat untuk anak-anak Tunalaras ini adalah pendidikan
Inklusi. Pendidikan inklusi ini sendiri merupakan pendidikan tidak
berpihak pada homogenitas sekelompok siswa. Dengan kata lain secara implikasi
pendidikan ini merupakan pendidikan yang tidak mengenal penyetaraan baik
kemampuan akademik maupun non akademik bagi calon siswa, dan tidak pula
mengenal istilah ‘mengeluarkan’ siswa dari sekolah karena bermasalah.
Pendidikan ini memungkinkan siswa untuk
belajar bersama dengan anak normal lainnya, dan menyatakan penerimaan
sepenuhnya pada anak berkebutuhan khusus, termasuk didalamnya anak-anak
tunalaras.
Beberapa hal yang sebenarnya menyebabkan
pendidikan inklusi banyak direkomendasikan untuk pendidikan anak tunalaras ini
antara lain yaitu :
a. Pendidikan inklusi mau merekrut semua jenis siswa
Pendidikan ini menyatakan bahwa anak yang
beresiko tidak disukai bahkan mengalami penolakan lingkungan (Farell, 2008)
sebagai sesuatu yang khas menimpa anak dengan tunalaras.
b. Pendidikan inklusi menghindarkan semua aspek negatif seperti labeling
Labeling merupakan
hal yang dapat memberikan dampak buruk pada mereka yang diberi label negatif,
dan sering kali mereka yang mendapat label adalah anak-anak kebutuhan khusus.
Dengan penerimaan pada anak kebutuhan khusus dan normal dalam satu lingkungan
belajar, tentu perasaan inferioritas tersebut bisa dihindarkan.
c. Pendidikan inklusi selalu melakukan checks dan balances.
Pendidikan inklusi bukan hanya diatur oleh
pihak formal, pemerintah dan sekolah sebagai penyelenggara. Dimana pendidikan
ini memerlukan keseimbangan terkait pihak-pihak yang berkaitan dengan siswa itu
sendiri, seperti orang tua, masyarakat, serta ahli terkait dengan karakteristik
khusus (Farrell, 2008).
Sejalan dengan pendidikan Inklusi, hal yang
juga penting untuk pendidikan anak Tunaraksa adalah Welcoming school.
Ketika komunitas sekolah, seperti guru dan anak-anak bekerja bersama-sama untuk
meminimalkan hambatan yang dihadapi anak dalam belajar dan mempromosikan
keikutsertaan dari seluruh anak di sekolah, maka ini merupakan salah satu
ciri dari sekolah yang ramah (Welcoming School).
Welcoming School ini telah diperkuat dalam Pernyataan Salamanca
(Salamanca Statement 1994) yang ditetapkan pada konferensi Dunia tentang
Pendidikan Kebutuhan Khusus tahun 1994 yang mengakui bahwa “Pendidikan untuk Semua”
(Education for All) sebagai suatu institusi. Hal ini bisa dimaknai bahwa
setiap anak dapat belajar (all children can learn), setiap anak berbeda
(each children are different) dan perbedaan itu merupakan kekuatan (difference
ist a strength), dengan demikian kualitas proses belajar perlu ditingkatkan
melalui kerjasama dengan siswa, guru, orang tua, dan komunitas atau masyarakat.
Di Sekolah yang Ramah (Welcoming Schools)
semua komunitas sekolah mengerti bahwa tujuan pendidikan adalah sama untuk
semua, yaitu semua murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman (to be
save and secure), untuk mengembangkan diri (to develop a sense of self),
untuk membuat pilihan (to make choices), untuk berkomunikasi (to
communicate), untuk menjadi bagian dari komunitas (to be part of a
community), untuk mampu hidup dalam situasi dunia yang terus berubah (live
in a changing world), untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan
untuk memberi kontribusi yang bernilai (to make valued contributions).
DAFTAR PUSTAKA
Davison, C.Gerald. Neale, M. John. Kring, M.
Ann. 2010. Psikologi Abnormal, Edisi ke-9. Jakarta ; RajaGrafindo
Persada
Mahabbati, Aini. 2006. Identifikasi Anak dengan Gangguan
Emosi dan Perilaku di Sekolah Dasar. JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS (JPK) ISSN
1858-0998. Vol.2 No.2 Nopember.
Mahabbati, Aini. 2010. Pendidikan Inklusi untuk Anak
Dengan Gangguan Emosi dan Perilaku (Tunalaras). JURNAL PENDIDIKAN KHUSUS
(JPK) ISSN 1858-0998. Vol.7 No.2 Nopember.
Diakses pada : http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2008/12/13
Diakses pada :
http://vharsa.wordpress.com/2009/10/20/pembelajaran-tuna-laras/
Jika anak kita memiliki nciri2 seperti di atas....harus diperiksa kemana ya ? Thx
BalasHapusGambaran dari artikel ini hanya secara umum, sebaiknya ditanyakan lebih lanjut ke psikolog untuk lebih jelasnya, atau ke klinik tumbuh kembang anak di kota anda.Terima kasih.
BalasHapus