ASSALAMUALAIKUM ...... SELAMAT DATANG DI

GORESAN GARIS LURUS



Cari Blog Ini

Selasa, 12 April 2016

Guru dan Kurikulum di Sekolah Inklusi



Selain terkait lingkungan inklusi, beberapa hal yang juga menarik untuk dikaji dan diperlukan dalam sekolah inklusi dalam penerapan pembelajaran yang merujuk pada individual differences antara lain adalah kemampuan guru dan kurikulum yang digunakan pada sekolah inklusi.

Kemampuan dan pengetahuan guru-guru sekolah terkait ilmu psikologi.
Menghadapi anak-anak berkebutuhan di sekolah inklusi tentu saja memerlukan pengetahuan tertentu yang tidak saja terkait pada metode pengajaran tapi bagaimana memahami anak-anak berkebutuhan khusus sehingga maksimalisasi diferensiasi pendidikan bisa diwujudkan. Keyakinan negatif dan emosi guru dalam menaggapi tambahan siswa difable akan menyebabkan rendahnya kepuasan kerja dan kenikmatan guru dalam pengajaran, sehingga penting untuk dilakukan pencegahan sikap negatif guru terhadap hal ini, tentunya memberikan pengalaman positif dengan pendidikan inklusif tampaknya diperlukan untuk menciptakan keyakinan positif guru pada pendidikan inklusif (Vermeulen dkk, 2012). Sejalan dengan Johnson dan Wilman (2008) pentingnya pelatihan strategi belajar mengajar untuk guru-guru disekolah inklusi. Saptandari dan Adiyanti (2013) bahkan menemukan bahwa pelatihan kepedulian guru juga dapat membantu siswa-siswa yang mengalami korban bullying. Hal ini juga tentu terkait dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang sering kali mendapatkan perlakuan diskriminasi dan korban kekerasan di sekolah.
Selama ini banyak sekolah-sekolah inklusi yang kurang siap menyandang status sekolah inklusi, salah satunya adalah ketersediaan guru yang memahami ilmu psikologi. Penelitian Vermeulen, Denessen dan Knoors. (2012) mengungkapkan bahwa guru kelas di sekolah inklusi, yang kelasnya mendapatkan  siswa tunarungu kurang bersedia untuk memberikan perhatian pada siswa berkebutuhan khusus ketika menunjukkan sikap atau pelikaku kerja negatif. Pada beberapa anak yang menunjukkan respon negatif dan kemarahan, guru cendrung mengabaikan dukungan dan lebih lagi dengan tanggapan tidak kooperatif dari orang tua. Ketika sekolah memutuskan untuk menjadi sekolah inklusi selain memiliki dampingan psikolog, setiap guru perlu mendapat pelajaran psikologi untuk memahami bagaimana setiap anak baik itu anak-anak normal maupun berkebutuhan khusus memiliki perbedaan dalam bersikap lebih lagi dalam proses belajar mengajar, sehingga guru-guru yang dibekali dengan ilmu psikologi terkait pendidikan anak-anak berkubutuhan khusus bisa ikut terlibat dan saling berkerjasama dengan anak, guru-guru dan pihak sekolah sendiri untuk mensukseskan diferensiasi dalam pendidikan sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah inklusi.

Kurikulum menyeluruh bagi sekolah inklusi.
Selama ini kurikulum yang berlaku di sekolah inklusi sering kali hanya menyadur ataupun memodifikasi kurikulum anak-anak normal untuk diberlakukan pada anak-anak berkebutuhan khusus. Ataupun anak-anak berkebutuhan khusus diminta mengikuti standar seperti anak-anak normal di sekolah tersebut. Hal ini tentu akan merugikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Beruntung, terkait dengan kurikulum pembelajaran, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengungkapkan di Indonesia mulai menerapkan kurikulum 2013 yang mulai diterapkan pada tahun 2014. Prinsip kurikulum ini adalah pendidikan itu untuk anak, untuk itu ada adaptasi kurikulum pada kebutuhan anak, bukan anak yang beradaptasi dengan kurikulum. Begitupun ujian akan diadaptasi. (Mudjito, 2014). Sejalan dengan bagaimana adaptasi kurikulum pada anak berkebutuhan khusus Ginsburg dan Rapp (2013) menambahkan bahwa rencana pendidikan pada anak-anak berkebutuhan khusus harus mencakup layanan transisi, berupa layanan untuk mempersiapkan anak-anak yang sudah menginjak usia 16 tahun, untuk bisa mengambarkan preferensi, prestasi dan keterampilan serta apa yang mereka butuhkan untuk belajar dan apa yang ingin mereka lakukan untuk membantu menempa jalur baru setelah keluar dari sekolah.
Misalnya terkait materi belajar anak, perbaikan kurikulum diperlukan untuk mengurangi materi-materi pelajaran yang ‘kurang bermakna’ bagi anak-anak berkebutuhan khusus dan mengantinya dengan pelajaran yang lebih bermakna, seperti keterampilan dan aktivitas kegiatan harian. Selain itu bentuk evaluasi belajar anak-anak berkebutuhan khusus sendiri juga harusnya dibedakan berdasarkan kebutuhan mereka, tidak mengikuti standar nasional seperti keikutsertaan dalam Ujian Nasional, karena meskipun beberapa anak difable kadang juga memiliki tingkat intelegensi yang baik untuk mengikuti standar evaluasi yang ada tak sedikit pula anak-anak yang tidak bisa mengikuti evaluasi semacam ini. Sejalan dengan hal ini Khairunisa (2015) mengungkapkan dalam penerapan kurikulum yang ada anak berkebutuhan khusus memang mempunyai kewajiban dan hak yang sama dengan anak regular. Hanya saja mereka akan didampingi oleh guru pendamping kelas di dalam kelas serta ada kelas pull-out untuk yang tidak berorientasi dengan UN. Namun seperti tugas, implementasi program, implementasi metode pembelajaran tetap sama. Bahkan mereka juga akan menerima consequence agreement jika melakukan pelanggaran 
Di Indonesia sendiri, khususnya Yogyakarta penerapan kurikulum yang menyeluruh pada sekolah inklusi dapat tergambar pada sekolah Tumbuh, Khairunisa (2015) mengungkapkan bahwa metode pembelajaran dan program-program khusus milik SMP Tumbuh disesuaikan dengan kebutuhan anak, dimana anak dituntut lebih aktif pada saat pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas Guru tidak menjadikan siswa sebagai objek, namun menempatkan siswa lebih sebagai subjek, dengan kata lain bahwa kurikulum yang baik harusnya melibatkan anak dalam prosesnya dalam artian mempertimbangkan dasar-dasar kebutuhan anak tidak hanya secara objektif tapi juga subjektif.
Note : Tulisan ini merupakan salah satu tugas kuliah saya.

Referensi


Blackhurst, A Edward. 2005. Perspectives on Aplications of technology in the field of learning disabilities. Spring, volume 28
_____---. 2000. Assistive Technology for Childer with Learning Difficulties. Schwab Foundation for Learning. California.
Dunst, Carl J.Bruder, Mary B. Trivette, Carol M, dan Hamby, Deborah W. 2006. Everyday Activity Settings, Natural Learning Environments, and Early Intervention Practices. Journal of Policy and Practice in Intellectual Disabilities. Volume 3 Number 1.
Edyburn, D.L. (2006). Assistive technology and mild disabilities. Special Education Technology Practice, 8(4), 18-28.
Ginsburg, Faye dan Rapp, Rayna. (2013). Entagled ethnography ; Imagining a future for youg adults with learning disabilities. Sosial Science dan Medicine. Vol 99 hal 187-193.
Jonsson & Wiman 2001 Education, Poverty and Disability in Developing Countries 2001. http://www.congreso.gob.pe/ comisiones/2006/discapacidad/tematico/educacion/Poverty-Education-Disability.pdf
Killoran, J. (2007). The national deafblind child count: 1998–2005 in review. Monmouth, OR: National Technical Assistance Consortium for Children and Young Adults who are Deaf Blind (NTAC),Teaching Research Institute, Western Oregon University.
Khairunisa, Rechika. 2015. Implementasi Metode Pembelajaran dan Program-program Pembelajaran Khusus di Sekolah Inklusi SMP Tumbuh Yogyakarta. Fakultas Sosiologi Universitas Gadjah Mada.
Liputan6.com-Kontras. 2014. Penerapan Kurikulum tahun 2013 pada pendidikan Inklusi. Diakses pada tanggal 5 Januari dari http://kliping.kemenag.go.id/downloads/7677d9b887 bd289 da6a7c2da8ae7d951.pdf
Risnawati, Rini. 2009. Hubungan Proses Belajar Mengajar Berbasis Teknologi dengan Hasil Belajar : Studi Metaanalisis. JURNAL PSIKOLOGI. VOLUME 36, NO. 2, DESEMBER 2009: 164 – 176
Rule, Peter dan Modipa, Taadi Ruth. (2012)“We Must Believe in Ourselves”: Attitudes and Experiences of Adult  Learners With Disabilities in KwaZulu-Natal, South Africa. Journal of Adult Education Quarterly 62(2) 138– 158.
Saptandari, Edilburga W dan Adiyanti. 2013. Mengurangi Bullying melalui Program Pelatihan “Guru Peduli”. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Suparno. 2010. Pendidikan Inklusif untuk Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Khusus, Vol.7. No.2. Nopember.
UNESCO (2009). Inclusion of children and disabilities: the early childhood imperative. UNESCO Policy Brief on Early Childhood. http://unesdoc.unesco.org/images/0018/001831/183 156e.pdf
Vermeulen, A Jorine. Denessen, Eddie. Knoors, Harry. (2012). Mainstream teachers about including deaf or hard of hearing students. Journal of Teaching and Teacher Education. 28.174-181
 

»»  Lanjut Baca Yuuk...

Setting Lingkungan Belajar Inklusi


Hallo sahabat-sahabat GGL, sudah lama sekali rasanya tidak menyentuh blog ini. Kalo ini ibarat rumah bisa jadi sudah banyak sarang laba-labanya nih. Tapi mari kita lupakan... mending kita langsung aja ni.. aku pengen ngebahas beberapa hal terkait sekolah Inklusi ni.. salah satunya tentang setting pembelajaran di sekolah inklusi itu sebaiknya gimana sih.. ini juga kuangkat karena akhir-akhir ini mulai banyak sekolah inklusi yang bermunculan. Tapi keberadaannya tidak diiringi dengan fasilitas yang mendukung. Hal ini tentu sangat disayangkan.

Setting Lingkungan Belajar Inklusi



Bagaimana sarana dan pengelolaan setting lingkungan belajar di sekolah inklusi menjadi isu penting dalam membangun pendidikan yang terdiferensiasi. UNESCO 2009- Policy Guidelines for Inclusion mengungkapkan bahwa salah satu dari yang menjadi permasalah sekolah inklusi saat ini antara lain yaitu kebutuhan penyediaan alat peraga dan bahan untuk meningkatkan partisipasi anak-anak difable, serta bagaimana kebutuhan adaptasi dengan infrastruktur sekolah (Johnson dan Wilman, 2001;2007;2008).
Dunst, Bruder, Trivette, dan Hamby (2006) melakukan penelitian terkait bagaimana setting kegiatan sehari-hari dilingkungan belajar natural jauh lebih memberikan manfaat dibanding intervensi kegiatan belajar bagai anak-anak. Dengan kata lain bagi anak-anak situasi lingkungan belajar yang baik dan alami diperlukan untuk mendukung mereka dalam meningkatkan kemampuan belajar. Bagaimanapun program dan pihak-pihak terkait melakukan pengembangan inklusi berjalan dengan baik, tetap saja tidak bisa serta merta maksimal jika lingkungan belajar tidak mendukung bagaimana anak-anak berkebutuhan khusus untuk menjalankan aktivitasnya. Misalnya pada anak berkebutuhan khusus-tunaganda, Killoran (2007) mengungkapkan anak-anak deafblindness membutuhkan metode pengajaran yang berbeda dari anak-anak yang hanya mendengar atau kehilangan penglihatan. Jika anak-anak normal hanya membutuhkan papan tulis dan spidol dalam beberapa metode pengajaran, tidak demikian dengan anak-anak difabel, modifikasi lingkungan perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan anak-anak, seperti merendahkan papan tulis untuk anak-anak yang menggunakan kursi roda, ataupun buku pelajaran braile untuk anak-anak tuna netra. Menurut Suparno (2010) keterbatasan akan pemenuhan kebutuhan ini sering kali diabaikan karena adanya anggapan kebutuhan yang objektif. Dengan kata lain selama ini sarana kebutuhan anak-anak sekolah inklusi tidak terdiferensiasi sebagaimana mestinya melainkan cenderung disamakan dengan anak-anak pada umumnya.
Setting belajar yang sesuai dengan kebutuhan objektif anak-anak berkebutuhan khusus merupakan hal yang perlu disarankan dilingkungan belajar mengajar pada sekolah inklusi. Beberapa anak berkebutuhan khusus kadang kala kesulitan berada di lingkungan sekolah non SLB (sekolah Luar Biasa) dikarenakan fasilitas yang kurang mendukung untuk kegiatan mereka, semisal tidak adanya besi titian di pinggir dinding trotoar sekolah yang dapat digunakan untuk anak-anak tunanetra dalam berjalan. Sekolah inklusi yang baik seharusnya memiliki fasilitas yang juga ikut membantu anak-anak berkebutuhan khusus untuk bisa melakukan aktifitas sosialnya maupun aktifitas belajarnya, misalnya untuk adanya ruangan khusus disekolah yang menyediakan fasilitas belajar diluar materi akademik seperti pelajaran menjahit, musik, olah raga dan lainnya. Penggunaan teknologi mungkin menjadi salah satu hal yang bisa disarankan dalam pendidikan inklusi. Niemi & Gooler (dalam Riswita, 2009) mengungkapkan penggunaan teknologi informasi memberikan beberapa keuntungan untuk sistem pembelajaran salah satunya penambahan ketersediaan media alternatif untuk mengakomodasi strategi pembelajaran yang beraneka ragam, hal ini juga dianggap dapat membuat motivasi belajar menjadi semakin tinggi, dan model pembelajaran individu maupun kelompok menjadi lebih potensial. Bahkan beberapa penelitian telah mengungkapkan bagaimana Assistive technology dapat membantu anak-anak difable dalam melakukan proses belajar mengajar dan meningkatkan kemampuan akademik (Blackhurst;2005, Edyburn; 2006). Schwab Foundation for Learning tahun 2000 mengungkapkan bahwa assistive technology ini dapat berupa hardware dan software seperti komputer dengan layar sentuh, proyektor, rekorder atau teknologi lainnya yang juga diiringi dengan aplikasi program yang bisa membantu proses belajar anak. 

Note : Tulisan ini merupakan salah satu tugas kuliahku.

Referensi 
Blackhurst, A Edward. 2005. Perspectives on Aplications of technology in the field of learning disabilities. Spring, volume 28
_____---. 2000. Assistive Technology for Childer with Learning Difficulties. Schwab Foundation for Learning. California.
Dunst, Carl J.Bruder, Mary B. Trivette, Carol M, dan Hamby, Deborah W. 2006. Everyday Activity Settings, Natural Learning Environments, and Early Intervention Practices. Journal of Policy and Practice in Intellectual Disabilities. Volume 3 Number 1.
Edyburn, D.L. (2006). Assistive technology and mild disabilities. Special Education Technology Practice, 8(4), 18-28.
Ginsburg, Faye dan Rapp, Rayna. (2013). Entagled ethnography ; Imagining a future for youg adults with learning disabilities. Sosial Science dan Medicine. Vol 99 hal 187-193.
Jonsson & Wiman 2001 Education, Poverty and Disability in Developing Countries 2001. http://www.congreso.gob.pe/ comisiones/2006/discapacidad/tematico/educacion/Poverty-Education-Disability.pdf
Killoran, J. (2007). The national deafblind child count: 1998–2005 in review. Monmouth, OR: National Technical Assistance Consortium for Children and Young Adults who are Deaf Blind (NTAC),Teaching Research Institute, Western Oregon University.
Khairunisa, Rechika. 2015. Implementasi Metode Pembelajaran dan Program-program Pembelajaran Khusus di Sekolah Inklusi SMP Tumbuh Yogyakarta. Fakultas Sosiologi Universitas Gadjah Mada.
Liputan6.com-Kontras. 2014. Penerapan Kurikulum tahun 2013 pada pendidikan Inklusi. Diakses pada tanggal 5 Januari dari http://kliping.kemenag.go.id/downloads/7677d9b887 bd289 da6a7c2da8ae7d951.pdf
Risnawati, Rini. 2009. Hubungan Proses Belajar Mengajar Berbasis Teknologi dengan Hasil Belajar : Studi Metaanalisis. JURNAL PSIKOLOGI. VOLUME 36, NO. 2, DESEMBER 2009: 164 – 176
Rule, Peter dan Modipa, Taadi Ruth. (2012)“We Must Believe in Ourselves”: Attitudes and Experiences of Adult  Learners With Disabilities in KwaZulu-Natal, South Africa. Journal of Adult Education Quarterly 62(2) 138– 158.
Saptandari, Edilburga W dan Adiyanti. 2013. Mengurangi Bullying melalui Program Pelatihan “Guru Peduli”. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Suparno. 2010. Pendidikan Inklusif untuk Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Khusus, Vol.7. No.2. Nopember.
UNESCO (2009). Inclusion of children and disabilities: the early childhood imperative. UNESCO Policy Brief on Early Childhood. http://unesdoc.unesco.org/images/0018/001831/183 156e.pdf
Vermeulen, A Jorine. Denessen, Eddie. Knoors, Harry. (2012). Mainstream teachers about including deaf or hard of hearing students. Journal of Teaching and Teacher Education. 28.174-181

»»  Lanjut Baca Yuuk...