Selain
terkait lingkungan inklusi, beberapa hal yang juga menarik untuk dikaji dan
diperlukan dalam sekolah inklusi dalam penerapan pembelajaran yang merujuk pada
individual differences antara lain adalah kemampuan guru dan kurikulum yang
digunakan pada sekolah inklusi.
Kemampuan dan pengetahuan guru-guru
sekolah terkait ilmu psikologi.
Menghadapi
anak-anak berkebutuhan di sekolah inklusi tentu saja memerlukan pengetahuan
tertentu yang tidak saja terkait pada metode pengajaran tapi bagaimana memahami
anak-anak berkebutuhan khusus sehingga maksimalisasi diferensiasi pendidikan
bisa diwujudkan. Keyakinan negatif dan emosi guru dalam menaggapi tambahan
siswa difable akan menyebabkan
rendahnya kepuasan kerja dan kenikmatan guru dalam pengajaran, sehingga penting
untuk dilakukan pencegahan sikap negatif guru terhadap hal ini, tentunya
memberikan pengalaman positif dengan pendidikan inklusif tampaknya diperlukan
untuk menciptakan keyakinan positif guru pada pendidikan inklusif (Vermeulen
dkk, 2012). Sejalan dengan Johnson dan Wilman (2008) pentingnya pelatihan
strategi belajar mengajar untuk guru-guru disekolah inklusi. Saptandari dan
Adiyanti (2013) bahkan menemukan bahwa pelatihan kepedulian guru juga dapat
membantu siswa-siswa yang mengalami korban bullying. Hal ini juga tentu terkait
dengan anak-anak berkebutuhan khusus yang sering kali mendapatkan perlakuan
diskriminasi dan korban kekerasan di sekolah.
Selama
ini banyak sekolah-sekolah inklusi yang kurang siap menyandang status sekolah
inklusi, salah satunya adalah ketersediaan guru yang memahami ilmu psikologi.
Penelitian Vermeulen, Denessen dan Knoors. (2012) mengungkapkan bahwa guru
kelas di sekolah inklusi, yang kelasnya mendapatkan siswa tunarungu kurang bersedia untuk
memberikan perhatian pada siswa berkebutuhan khusus ketika menunjukkan sikap
atau pelikaku kerja negatif. Pada beberapa anak yang menunjukkan respon negatif
dan kemarahan, guru cendrung mengabaikan dukungan dan lebih lagi dengan
tanggapan tidak kooperatif dari orang tua. Ketika sekolah memutuskan untuk
menjadi sekolah inklusi selain memiliki dampingan psikolog, setiap guru perlu
mendapat pelajaran psikologi untuk memahami bagaimana setiap anak baik itu
anak-anak normal maupun berkebutuhan khusus memiliki perbedaan dalam bersikap
lebih lagi dalam proses belajar mengajar, sehingga guru-guru yang dibekali
dengan ilmu psikologi terkait pendidikan anak-anak berkubutuhan khusus bisa
ikut terlibat dan saling berkerjasama dengan anak, guru-guru dan pihak sekolah
sendiri untuk mensukseskan diferensiasi dalam pendidikan sekolah untuk
anak-anak berkebutuhan khusus yang ada di sekolah inklusi.
Kurikulum menyeluruh bagi sekolah
inklusi.
Selama
ini kurikulum yang berlaku di sekolah inklusi sering kali hanya menyadur
ataupun memodifikasi kurikulum anak-anak normal untuk diberlakukan pada
anak-anak berkebutuhan khusus. Ataupun anak-anak berkebutuhan khusus diminta
mengikuti standar seperti anak-anak normal di sekolah tersebut. Hal ini tentu
akan merugikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus. Beruntung, terkait dengan
kurikulum pembelajaran, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
mengungkapkan di Indonesia mulai menerapkan kurikulum 2013 yang mulai
diterapkan pada tahun 2014. Prinsip kurikulum ini adalah pendidikan itu untuk
anak, untuk itu ada adaptasi kurikulum pada kebutuhan anak, bukan anak yang
beradaptasi dengan kurikulum. Begitupun ujian akan diadaptasi. (Mudjito, 2014).
Sejalan dengan bagaimana adaptasi kurikulum pada anak berkebutuhan khusus Ginsburg
dan Rapp (2013) menambahkan bahwa rencana pendidikan pada anak-anak
berkebutuhan khusus harus mencakup layanan transisi, berupa layanan untuk
mempersiapkan anak-anak yang sudah menginjak usia 16 tahun, untuk bisa
mengambarkan preferensi, prestasi dan keterampilan serta apa yang mereka butuhkan
untuk belajar dan apa yang ingin mereka lakukan untuk membantu menempa jalur
baru setelah keluar dari sekolah.
Misalnya
terkait materi belajar anak, perbaikan kurikulum diperlukan untuk mengurangi
materi-materi pelajaran yang ‘kurang bermakna’ bagi anak-anak berkebutuhan
khusus dan mengantinya dengan pelajaran yang lebih bermakna, seperti
keterampilan dan aktivitas kegiatan harian. Selain itu bentuk evaluasi belajar
anak-anak berkebutuhan khusus sendiri juga harusnya dibedakan berdasarkan
kebutuhan mereka, tidak mengikuti standar nasional seperti keikutsertaan dalam
Ujian Nasional, karena meskipun beberapa anak difable kadang juga memiliki tingkat intelegensi yang baik untuk
mengikuti standar evaluasi yang ada tak sedikit pula anak-anak yang tidak bisa
mengikuti evaluasi semacam ini. Sejalan dengan hal ini Khairunisa
(2015) mengungkapkan dalam penerapan kurikulum yang ada anak berkebutuhan
khusus memang mempunyai kewajiban dan hak yang sama dengan anak regular. Hanya
saja mereka akan didampingi oleh guru pendamping kelas di dalam kelas serta ada
kelas pull-out untuk yang tidak berorientasi dengan UN. Namun seperti tugas,
implementasi program, implementasi metode pembelajaran tetap sama. Bahkan
mereka juga akan menerima consequence agreement jika melakukan
pelanggaran
Di Indonesia sendiri, khususnya
Yogyakarta penerapan kurikulum yang menyeluruh pada sekolah inklusi dapat
tergambar pada sekolah Tumbuh, Khairunisa (2015) mengungkapkan bahwa metode pembelajaran dan program-program khusus milik SMP
Tumbuh disesuaikan dengan kebutuhan anak, dimana anak dituntut lebih aktif pada
saat pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas Guru tidak menjadikan
siswa sebagai objek, namun menempatkan siswa lebih sebagai subjek, dengan kata
lain bahwa kurikulum yang baik harusnya melibatkan anak dalam prosesnya dalam
artian mempertimbangkan dasar-dasar kebutuhan anak tidak hanya secara objektif tapi
juga subjektif.
Note : Tulisan ini merupakan salah satu tugas kuliah saya.
Referensi
Blackhurst, A Edward. 2005.
Perspectives on Aplications of technology in the field of learning
disabilities. Spring, volume 28
_____---.
2000. Assistive Technology for Childer with Learning Difficulties. Schwab Foundation for Learning.
California.
Dunst,
Carl J.Bruder, Mary B. Trivette, Carol M, dan Hamby, Deborah W. 2006. Everyday
Activity Settings, Natural Learning Environments, and Early Intervention
Practices. Journal of Policy and Practice in Intellectual Disabilities. Volume
3 Number 1.
Edyburn, D.L. (2006). Assistive
technology and mild disabilities. Special
Education Technology Practice, 8(4), 18-28.
Ginsburg,
Faye dan Rapp, Rayna. (2013). Entagled ethnography ; Imagining a future for
youg adults with learning disabilities. Sosial Science dan Medicine. Vol 99 hal
187-193.
Jonsson
& Wiman 2001 Education, Poverty and Disability in Developing Countries
2001. http://www.congreso.gob.pe/ comisiones/2006/discapacidad/tematico/educacion/Poverty-Education-Disability.pdf
Killoran,
J. (2007). The national deafblind child
count: 1998–2005 in review. Monmouth, OR: National Technical Assistance
Consortium for Children and Young Adults who are Deaf Blind (NTAC),Teaching
Research Institute, Western Oregon University.
Khairunisa, Rechika. 2015.
Implementasi Metode Pembelajaran dan Program-program Pembelajaran Khusus di
Sekolah Inklusi SMP Tumbuh Yogyakarta. Fakultas Sosiologi Universitas Gadjah
Mada.
Liputan6.com-Kontras. 2014. Penerapan Kurikulum tahun
2013 pada pendidikan Inklusi. Diakses pada tanggal 5 Januari dari http://kliping.kemenag.go.id/downloads/7677d9b887
bd289 da6a7c2da8ae7d951.pdf
Risnawati, Rini. 2009. Hubungan Proses Belajar
Mengajar Berbasis Teknologi dengan Hasil Belajar : Studi Metaanalisis. JURNAL
PSIKOLOGI. VOLUME 36, NO. 2, DESEMBER 2009: 164 – 176
Rule, Peter dan Modipa, Taadi Ruth. (2012)“We Must
Believe in Ourselves”: Attitudes and Experiences of Adult Learners With Disabilities in KwaZulu-Natal,
South Africa.
Journal of Adult Education Quarterly
62(2) 138– 158.
Saptandari,
Edilburga W dan Adiyanti. 2013. Mengurangi Bullying melalui Program Pelatihan
“Guru Peduli”. Jurnal Psikologi. Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Suparno.
2010. Pendidikan Inklusif untuk Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Khusus, Vol.7. No.2. Nopember.
UNESCO
(2009). Inclusion of children and disabilities: the early childhood imperative.
UNESCO Policy Brief on Early Childhood. http://unesdoc.unesco.org/images/0018/001831/183 156e.pdf
Vermeulen,
A Jorine. Denessen, Eddie. Knoors, Harry. (2012). Mainstream teachers about
including deaf or hard of hearing students. Journal
of Teaching and Teacher Education. 28.174-181